11 October 2011

Kota Samarinda

Samarinda yang dikenal sebagai kota seperti saat ini dulunya adalah
salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Di
wilayah tersebut belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota.
Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan
persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan
perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang
Mumus dan sungai Karang Asam.
Pada tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La
Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan
Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah ke luar pulau hingga ke
Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap
Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh
pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa
itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut
diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah
yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai
dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala
kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.

Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus
(daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di
dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan
banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung
(Gunung Selili).

Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan
Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka
perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud
Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal
Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai
wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal
bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis
yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka.
Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama
ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua
penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada
perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar, Filipinayang
dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara
rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan
derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan
lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri
kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah
lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan
ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan
lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah
persawahan yang subur.

Source: id.wikipedia.org